Pemandangan dalam foto yang saya dapat dari koleksi Arsip Nasional Belanda ini mungkin jarang ditemui dalam film dan buku sejarah kita. Yang sudah-sudah, relasi antara para serdadu Belanda dengan kaum bumiputera kerap dilukiskan berlawanan. Apa yang terjadi jika beberapa serdadu Belanda bertemu dengan perempuan-perempuan muda pribumi? Pada umumnya, kisah yang beredar menyebutkan tentang praktek pemerkosaan. Saya tak menafikan, memang ada peristiwa seperti itu.
Tapi sejatinya banyak beredar kisah-kisah humanis di antara manusia-manusia dari dua negara yang saat itu saling bermusuhan tersebut. Seperti kisah dari Sumedang ini: tersebutlah sebuah unit Divisi 7 December datang ke kota itu. Selama di sana, seorang prajuritnya berkenalan dengan gadis setempat.
Singkat cerita, mereka lalu saling jatuh cinta dan kerap janjian di jembatan tua dekat pos si prajurit. Namun sebelum cinta terutarakan, si prajurit harus pindah tugas ke wilayah timur Jawa. Jadilah kemudian hubungan mereka diteruskan lewat surat. Setiap mendapat surat dari sang pujaan, si gadis selalu membacanya di sisi jembatan tua, tempat dulu mereka kerap bertemu.
Selain cinta, banyak hal yang diceritakan sang kekasih dari medan laga: mulai hal-hal lucu yang terjadi di barak hingga dilema sang prajurit terhadap perang yang sejatinya tak pernah dipahaminya. Romantisme terus berjalan hingga menemui elegi.
Usai Agresi Militer Belanda ke-2 pada 1948, surat-surat sang serdadu tak pernah datang lagi. Tapi sang gadis tetap menunggu dan menunggu hingga sebuah berita datang kepadanya: sang pujaan telah gugur, hancur lebur dimakan ranjau darat pejuang Republik dalam sebuah penghadangan di Probolinggo.
Saya tidak tahu apakah kisah itu sudah dibumbui dramatisme dări si pencerita. Namun yang jelas, saat mau menuliskannya menjadi sebuah kisah tersendiri, narasumber saya yang sekarang sudah meninggal itu melarangnya. “Itu bagian tersakit dalam hidup saya, tapi saya tak ingin mengabadikannya dalam dunia nyata,” katanya. (hendijo)
