Sebetulnya Negeri ini tidak pernah kehabisan pejabat jujur dan sederhana yang benar-benar tulus mengabdi untuk rakyat. Jumlahnya barangkali tidak banyak, tapi mereka jadi angin segar, harapan Indonesia yang lebih baik. Salah satu yang layak ditulis dengan tinta emas adalah kisah Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung RI.
Menjadi penegak hukum sejak usia muda hingga meninggal dunia dengan jabatan Jaksa Agung pada 2001, Baharuddin Lopa telah jadi teladan akan bakti terbaik bagi negeri. Jabatan tinggi tidak membuat Lopa silau, bahkan dia tetap rendah hati dan menolak peluang untuk memanfaatkan posisinya. Kesederhanaan hidup pria yang akrab disapa Barlop ini bisa jadi teladan. Sebuah celengan setidaknya menjadi saksi bisu kebersahajaan Lopa.
Mengutip buku “Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa”, Lopa menabung receh demi receh dari gajinya di celengan untuk merenovasi rumahnya yang sederhana di kampung halamannya, Makassar. Padahal sebagai pejabat negara, bisa saja Lopa menggunakan jabatannya untuk menangguk rupiah. Nyatanya, Lopa harus menabung di celengan untuk sekadar merenovasi rumahnya, itu pun masih kurang banyak.
Untuk menambah penghasilannya, Lopa tidak menjadi konsultan atau komisaris konglomerat, melainkan buka wartel dengan lima bilik telepon dan penyewaan Playstation di samping rumahnya di Pondok Bambu, Jakarta. Lopa juga kerap mendapatkan honor ratusan ribu dari menulis kolom di surat kabar. Dari sinilah akhirnya Lopa mendapatkan tambahan dana untuk merenovasi rumahnya.
Lahir 27 Agustus 1935 di Mandar, Sulawesi Selatan, Lopa memang telah bercita-cita menjadi penegak hukum. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, ini telah ditunjuk menjadi Bupate Majene, Sulawesi Selatan, pada usianya yang baru 25 tahun.
Dikutip dari buku “Orange Juice: Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa” terbitan KPK, Lopa kemudian menapaki karier di bidang hukum, di antaranya kepala Kejaksaan Negeri Ternate pada 1964, menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh hingga pindah ke Kalimantan Barat pada 1974, Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (1976β1982), Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982β1986), dan Dirjen Lapas pada 1988-1995.
Presiden BJ Habibie kemudian menugaskan Lopa menjadi Duta Besar RI di Riyadh, Arab Saudi, pada 1998-2001. Dia kemudian dipulangkan ke Indonesia pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menjabat Menteri Kehakiman dan HAM RI, lalu ditunjuk menjadi Jaksa Agung menggantikan Marzuki Darusman. Baru sebulan menjadi Jaksa Agung, Lopa meninggal dunia di Riyadh ketika menghadiri serah terima jabatan perwakilan RI.
Walau hanya sebulan menjabat Jaksa Agung, Lopa sudah membuat para koruptor ketar-ketir lantaran sifatnya yang tak kenal takut. Dia segera memerintahkan pulang Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu yang sedang dirawat di Jepang dan Singapura untuk diselidiki atas kasus korupsi. Dia juga turut menghadapi kasus yang melibatkan “orang-orang kuat”, seperti Akbar Tanjung, Arifin Panigoro, dan Ginanjar Kartasasmita. Lopa juga berani mengusut kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.
Tawar-Menawar yang Aneh dengan Jusuf Kalla
Salah satu ciri khas Lopa yang banyak diingat adalah mobil dinas resminya berupa Toyota Kijang tua. Pada suatu ketika, Lopa ingin membeli mobil baru dan meminta bantuan Jusuf Kalla (JK) yang ketika itu menjadi agen tunggal Toyota di kawasan Timur Indonesia.
JK lantas menawarinya Toyota Crown seharga Rp100 juta, tunggangan yang sepadan dengan pejabat sekelas Lopa. “Mahal sekali, ada yang murah?” jawaban Lopa ini membuat JK terkejut. JK kemudian menawarinya Toyota Cressida dengan harga Rp60 juta, itu pun masih ditolak Lopa karena kemahalan.
Akhirnya JK malah ingin menghadiahi Lopa sebuah sedan Corona seharga Rp30 juta. “Tidak usah bicara harga, Bapak kan perlu mobil. Jangan khawatir, saya tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya kirim mobil itu besok ke Jakarta,” kata JK.
Lopa masih juga menolak, bahkan dia menaikkan harganya. Sementara JK sebagai penjual, malah menurunkan harganya hingga Rp5 juta saja. Sebuah tawar menawar aneh yang tidak akan ditemui di mana pun. Akhirnya, JK menyerah dan sepakat menjual mobil itu Rp25 juta kepada Lopa dengan cara dikredit.
Adegan di atas menunjukkan bahwa Lopa sangat anti dengan pemberian atau gratifikasi. Pernah suatu kali, pengusaha kenalannya menitipkan amplop tebal berisi USD10 ribu untuk membantu perekonomian Lopa. Pengusaha itu tidak tersangkut kasus apa-apa, pemberian tersebut murni hanya ingin membantu. Lopa menolaknya mentah-mentah.
“Tak usahlah, kita berteman saja, ini tidak perlu,” kata Lopa.
Etos kerja Baharuddin Lopa tidak usah diragukan lagi. Di usia 66 tahun, Baharuddin Lopa masih bekerja keras. Setiap hari, dia masuk kerja pukul 08.00 dan pulang ke rumah pukul 16.00. Dia pulang hanya untuk tidur sore, lalu kembali ke kantor pada pukul 19.30 untuk bekerja hingga larut, kadang sampai pukul dua dini hari.
Integritas Lopa juga kokoh bak karang. Ketika menjabat Kepala Kejati Sulsel, mobil Lopa yang dibawa oleh supirnya diisikan bensin oleh seseorang. Mengetahui hal itu, dia memerintahkan supirnya menyedot keluar bensin tersebut dan mengembalikan kepada pemberinya.
Pantang Pakai Fasilitas Kantor
Lopa juga dikenal pantang menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi. Telepon dinas di rumahnya selalu dikunci, anak dan istrinya dilarang menggunakannya. Bahkan, dia sampai memasang telepon koin di rumah dinasnya agar mudah dipisahkan tagihannya.
Pengalaman lainnya, pada 1984 Lopa menolak permintaan putrinya, Aisyah, yang ingin meminjam kursi untuk acara seminar di kampus. “Ini, baca! barang inventaris Kejaksaan Tinggi Sulsel, bukan invetaris Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan, tidak bisa dipinjamkan,” kata Lopa kepada Aisyah.
Lopa juga enggan diistimewakan. Pada 1983, dia diundang untuk menjadi saksi pernikahan kerabatnya. Di depan gedung, tuan rumah dan pagar ayu telah menunggu kedatangan Lopa dengan mobil dinasnya yang berpelat DD-3.
Lama ditunggu, mobil itu tak jua datang. Tiba-tiba, suara Lopa terdengar di dalam rumah. Rupanya Lopa dan istrinya datang menumpang angkutan umum. βIni hari Minggu. Ini juga bukan acara dinas. Jadi, saya tak boleh datang dengan mobil kantor,β kata Lopa, santai.
Kematian Lopa pada 30 Juni 2001 meninggalkan duka mendalam bagi Indonesia. Di Makassar, tempat pelelangan ikan Paotere berhenti beraktivitas untuk melihat berita kematian Lopa. Barlop dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 6 Juli 2001 dengan upacara pemakaman kenegaraan.
Rakyat Indonesia tentu mendoakan Baharuddin Lopa agar semua amal ibadahnya diterima Yang Maha Kuasa. Namun doa lainnya yang juga harus dipanjatkan adalah semoga ada lebih banyak lagi sosok-sosok berintegritas seperti Lopa di bumi Indonesia ini.
Lopa dan Buku
Intelektualitas dan integritas Baharuddin Lopa memang tidak diragukan, apalagi terhadap dunia keilmuan. Rajin membaca dan suka menulis merupakan aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dalam kesehariannya. Berikut sejumlah buku karya Baharuddin Lopa :
- Kejahatan korupsi dan penegakan hukum – 2001
- Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971)
1987 - Tindak pidana ekonomi: pembahasan tindak pidana penyelundupan – 1984
- Permasalahan pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia – 1987
- Mengenal peradilan tata usaha negara – 1991
- Pertumbuhan demokrasi, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia – 1999
- Masalah-masalah politik, hukum, sosial, budaya, dan agama: sebuah pemikiran – 1996
- Implementasi wawasan Nusantara – 1987
- Siri’ filosofi suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar
- Masalah korupsi & pemecahannya – 1997
- Djalannja revolusi Indonesia membebaskan Irian Barat – 1963
[ID-10/kpk.go.id/foto:istimewa]