Oleh Hendi Jo
Ini tentang kisah cerita lama yang baru saja saya ingat. Suatu hari di tahun 1980-an, entah mengapa, seorang paman saya tetiba ingin mengganti nama salah satu anak lelaki-nya, dari Yudi Johansyah menjadi Abung Sungkawa.
Nenek saya yang istri seorang eks perwira Siliwangi tentu saja tidak setuju dan marah dengan keputusan itu. Saya masih ingat, nenek saya bilang dalam nada ketus: Mengapa harus nama itu? Kayak nama gorombolan saja, katanya.
Nama “gorombolan” adalah istilah orang-orang tua kami untuk menyebut gerilayawan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Itu nama gerakan perlawanan kaum islam militan pimpinan S.M. Kartosoewirjo terhadap pemerintah Sukarno. Terjadi dalam rentang kurang lebih 13 tahun (1949-1962).
Abung Sungkawa sendiri rupanya terinspirasi dari nama Achmad Soengkawa, mantan anggota TNI yang kemudian membelot ke kubu DI/TII dan menjadi tokoh dalam gerakan itu.
Tersebutlah Batalyon F. 22 Djaja Pangrerot pimpinan Mayor Soegih Arto. Begitu TNI hijrah ke Jawa Tengah pada awal 1948, Yon F. 22 diperintahkan untuk tetap “bertahan” di Jawa Barat dan merubah kesatuannya menjadi sejenis pasukan liar. Perintah yang datang langsung dari atasannya itu (Letnan Kolonel Daan Yahya, Komandan Brigade Guntur Divisi Siliwangi) langsung disanggupi oleh Mayor Soegih.
Usai TNI keluar dari Jawa Barat, Mayor Soegih kemudian “membubarkan” Yon F. 22. Dia memecah batalyon-nya menjadi unit-unit setingkat antara kompi dan seksi (sekitar 100 orang). Salah satu unit itu bernama Pasukan Siloeman, yang dipimpin oleh orang kepercayaannya, Letnan Muda Achmad Soengkawa.
Pasukan Siloeman dalam petualangannya ternyata merambah sampai jauh dari wilayah teritorial eks Yon F. 22. Mereka melakukan penjelajahan bahkan hingga ke Cianjur Utara. Di wilayah tersebut, Pasukan Siloeman melakukan kerjasama dengan unit-unit bersenjata yang ada di bawah TII. Karena putus koordinasi dengan induk pasukan, lambat laun Letnan Muda Achmad Soengkawa terpengaruh ide-ide DI/TII dan memutuskan untuk bergabung dengan angkatan bersenjata NII itu.
Soegih masih ingat, suatu hari dia mendapat surat dari seorang kurir yang dikirim langsung oleh Letnan Muda Soengkawa. Dalam surat tersebut, Soengkawa menyatakan bahwa dia mengundurkan diri dari Yon F. 22 dan diangkat sebagai bupati sekaligus komandan resimen di DI/TII.
“Tapi Pak, meskipun organisasi berlainan, saya berjanji Pak Soegih tetap bapak saya pribadi,” katanya.
Soengkawa ternyata tidak ingkar janji. Suatu ketika pada 1950, Mayor Soegih Arto mendapat tugas untuk memimpin suatu operasi pembersihan unsur-unsur DI/TII di Garut. Saat tiba di suatu wilayah pegunungan dekat selatan Majalaya, Bandung Barat, pasukan Soegih harus melewati suatu tebing yang potensial dijadikan tempat penghadangan oleh pasukan musuh.
“Di atas tebing terdapat sebatang pohon beringin, saya melewati pohon beringin itu dengan selamat…” kenang Soegih.
Namun baru saja lewat dari kawasan itu (sekitar 100 meter), Soegih yang menunggang seekor kuda, mendengar kegaduhan di belakangnya. Terdengar serentetan tembakan, disusul para pengawal-nya berlarian menaiki tebing itu sambil berteriak-teriak. Tak lama kemudian, mereka datang dengan membawa seorang tawanan DI/TII.
Rupanya tawanan DI/TII itu adalah seorang prajurit pemegang Brengun. Dia ditugaskan untuk menghabisi pimpinan pasukan TNI (Mayor Soegih Arto) yang tengah menuju Garut itu. Namun baru saja dia membidikan arah moncong Brengun-nya, tetiba Achmad Soengkawa (komandan pasukan DI/TII tersebut) berteriak.
“Jangan tembak! Itu Bapak saya!”ujarnya sambil memukul kepala Si Pemegang Brengun.
Merasa kesakitan dan pusing, Si Pemegang Brengun refleks melepaskan senjatanya hingga jatuh ke bawah.
Saat diburu, semua pasukan penghadang dari DI/TII langsung melarikan diri, kecuali Si Pemegang Brengun yang sudah tak berdaya akibat kepalanya dipukul komandannya sendiri. Achmad Soengkawa sendiri berhasil lolos.
“Andaikan Achmad Soengkawa tidak memukul anak buahnya yang hendak menembak saya, mungkin saya sudah mati ditembak peluru Brengun. Dia menepati janjinya bahwa dia akan memperlakukan saya seperti bapaknya pribadi,” kenang Soegih Arto.
Sejak penghadangan itu, Soegih Arto tak pernah bertemu lagi dengan Achmad Soengkawa. Hingga sekitar tahun 1960-an, dia mendengar mantan anak buah kesayangannya itu tewas tertembak peluru TNI di Sukabumi.
Foto: Achmad Soengkawa saat menjadi perwira tinggi Tentara Islam Indonesia (TII)
Penulis adalah seorang Jurnalis Sejarah dan Penggerak Komunitas Historika