Peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari 1974), merupakan salah satu peristiwa kelam di zaman Orde Baru. Beberapa sumber menyebutkan, pemicunya adalah rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia untuk berdiplomasi sekaligus mencermati investasi Jepang di Indonesia. Tidak hanya itu, PM Jepang itu juga ingin meminta informasi seputar kisruh investasi asing di Indonesia saat itu.

Mendengar kedatangan Tanaka, sejumlah mahasiswa menyambut kedatangan Kakuei pada 14 Januari dengan melakukan demonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun, para demonstran tak bisa masuk karena mendapat penjagaan ketat dari aparat keamanan.

Keesokan harinya, mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu, pemberantasan korupsi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Selain tiga tuntutan itu, mahasiswa juga menuntut dibubarkannya Asisten Penasehat Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.

Menjelang sore hari, aksi demonstrasi mulai memanas dan berakhir ricuh. Kerusuhan besar ini diduga terjadi karena provokator. Saat itu, terjadi sejumlah pengrusakan, pembakaran, dan penghancuran merek mobil Jepang.

Kerusuhan yang semula terjadi di Jalan Sudirman meluas hingga ke Senen. Massa menjara dan membakar pusat perbelanjaan itu. Sejumlah gedung pun terbakar.

Aparat keamanan menyalahkan mahasiswa sebagai dalang di balik kerusuhan tersebut. Namun, mahasiswa menyanggah dan menyebut aksi yang mereka lakukan dari Salemba ke Grogol berlangsung damai.

Setelah kerusuhan, Presiden Soeharto mengambil langkah dengan mencopot Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Sumitro. Dia dianggap bertanggung jawab terjadinya kerusuhan dan korban tewas.

Pencopotan juga menimpa orang-orang terdekat Sumitro. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Sutopo Juwono dicopot dan digantikan oleh Yoga Soegomo.

Sementara, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang saat itu menjadi penggerak para mahasiswa berdemonstrasi, Hariman Siregar dinyatakan bersalah oleh pemerintah dan dijatuhi hukuman penjara.

Tuntutan pembubaran Aspri tercapai. Lembaga Asisten Pribadi Presiden pun dibubarkan. Meski begitu, Mantan pemimpin Aspri Ali Murtopo dipindah tugaskan ke Bakin.

Anti asing atau perpecahan tubuh militer?

Kompas edisi tahun 1974 menuliskan, jika pada awal pemerintahannya, Soeharto berusaha melakukan pembangunan dalam berbagai aspek. Adapun, salah satu kendalanya adalah utang yang dimiliki Pemerintahan Soekarno.

Pemerintaha Soeharto berupaya menutup utang warisan Orde Lama dengan memasukkan investasi dari negara lain. Ketika itu, Amerika Serikat (AS) adalah menjadi mitra yang besar bagi Indonesia terutama di bidang energi dan tambang. Namun, dominasi Jepang di Asia saat itu ternyata lebih terlihat nyata.

Berbagai alat transportasi, elektronik, dan barang-barang konsumen terlihat lebih didominasi produk Jepang. Saat terdengar kabar bahwa Jepang bahwa Jepang akan investasi besar-besaran, hal inilah yang memicu gerakan mahasiswa.

Dikutip dari buku Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014) karya Jusuf Wanandi, setidaknya ada faktor lain ketika itu. Indikasi itu yaitu adanya “aroma” perpecahan tokoh militer yang berada di sekitar Soeharto.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, Jenderal Soemitro merupakan Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Kopkamtib. Pada awal 1970-an, Soemitro sering memanggil menteri-menteri ke kantornya dan menyelenggarakan rapat mingguan.

Langkah ini menjadikan sisi kubu Ali Moertopo merasa gerah dan ingin mempertanyakan kepada Soeharto tentang sejumlah “manuver” yang dilakukan Soemitro.

Pada 1973, Soemitro memulai langkah beraninya dengan mendatangi kampus-kampus. Soemitro mempunyai gagasan agar para mahasiswa lebih kritis terhadap pemerintah. Langkah yang dilakukannya mendapat tentangan keras terhadap Ali Moertopo. Ditambah prajurit yang berjaga di rumah Ali dibebas tugaskan.

Pada akhir tahun 1973, Soeharto mengumpulkan jenderal-jenderalnya untuk melihat duduk perkara yang ada. Soemitro menangis sebelum pertemuan tersebut dimulai. Akhirnya, Soemitro memberikan penjelasan dalam pertemuan itu bahwa dirinya tak ada niat untuk merongrong wibawa Pemerintahan Soeharto.

Pada 2 Januari 1975, jenderal-jenderal mengadakan jumpa pers dan memberitahukan kepada media bahwa tak ada masalah atau perpecahan di kubu militer.

Mahasiswa tetap beraksi Peristiwa itu tak menghentikan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi yang dipersiapkan beberapa minggu sebelum kedatangan Kakuei Tanaka ke Indonesia. Mahasiswa tetap niat turun ke jalan.

Demonstrasi berawal dari apel ribuan mahasiswa dan pelajar yang berlangsung dari kampus Universitas Indonesia (UI) di Jalan Salemba menuju kampus Universitas Trisakti di bilangan Grogol pada tengah hari, 15 Januari 1974. Di situ mahasiswa dan pelajar memaklumatkan Apel Tritura 1974.

Para mahasiswa meminta pemerintah menurunkan harga, membubarkan asisten presiden, dan menggantung koruptor-koruptor. Setelah apel bubar, para mahasiswa dan pelajar itu membakar patung Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka. Lalu mereka menuju ke Istana Kepresidenan. Saat itu, Istana Kepresidenan menjadi tempat pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Kakuei Tanaka, yang datang sejak 14 Januari 1974.

Peluru mulai ditembakkan ke arah demonstran yang dinilai melakukan kekerasan. Mahasiswa sendiri membantah telah melakukan kekerasan. Sebab, saat itu mereka berdemonstrasi di sekitar Jalan MH Thamrin, sedangkan kerusuhan terjadi di sekitar Pasar Senen.

Kerusuhan Malari 1974 tercatat menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban mengalami luka berat dan ringan. Proyek Pasar Senen yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis.

Ketika peristiwa itu terjadi, PM Jepang sedang berada di Indonesia untuk melakukan kunjungan. Walaupun kondisi di Jakarta tak kondusif akibat menolak kedatangannya, namun Tanaka tak merasa jengkel.

Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 17 Januari 1974, Tanaka tak menyatakakan ke media bahwa dirinya merasa jengkel karena ulah dari mahasiswa. Menurut dia, demonstrasi yang tepat dilakukan bersamaan dengan kunjungannya ini akan digunakan untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang Jepang. Tanaka malah berjanji akan meninjau kembali kerja sama Jepang-Indonesia, hingga tercipta hubungan yang lebih baik lagi. Kunjungan Tanaka di Indonesia saat itu berjalan lancar. Dia juga mendapatkan jamuan makan malam dari Soeharto di Istana Negara. [bbs/media/foto:docsejarah/istimewa]

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *