Oleh Abd. Rahman Hamid
(Dosen Sejarah dan Ketua GPM Fakultas Adab UIN Raden Intan Lampung)
Hingga kini, Provinsi Lampung baru mempunyai satu Pahlawan Nasional (PN), yakni Raden Intan II (1834-1856) yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1986. Apakah tidak ada tokoh lain yang layak menjadi PN? Apa pentingnya PN bagi suatu provinsi?
Pahlawan adalah orang yang tercerahkan. Ia berbuat terbaik untuk kepentingan umum dan melampaui masa hidupnya. Dengan kata lain, pahlawan adalah orang yang telah selesai dengan kepentingan diri dan kaumnya. Kalau begitu banyak orang yang layak disebut pahlawan. Tetapi hanya sedikit yang menjadi PN.
Gelar PN umumnya dikaitkan dengan perjuangan seseorang melawan atau mengusir penjajah dari Tanah Air. Karena itu, keberadaannya sangat penting untuk mengukur andil atau pengorbanan suatu daerah dalam proses berdiri dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau sampai kini Lampung baru punya satu PN, maka itu dapat mencerminkan derajat andilnya kepada NKRI.
Perlu diketahui bahwa tidak semua pahlawan bisa menjadi PN. Hanya pahlawan yang ditetapkan oleh Presiden RI yang berhak mendapat gelar PN. Calon PN lahir dari kajian akademis historis terhadap sumber-sumber sejarah terkait usaha yang pernah dilakukan oleh seorang pada masa hidupnya yang bermanfaat bagi orang banyak. PN hanya diumumkan pada peringatan Hari Pahlawan Nasional pada 10 November.
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Tokoh Lampung yang sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah oleh Gubernur pada tahun 2015 adalah KH Ahmad Hanafiah (1905-1947). Ia berasal dari Kewedanan Sukadana Keresidenan Lampung (sekarang Kabupaten Lampung Timur). Apakah dia layak menjadi PN? Semuanya sangat bergantung pada apa yang pernah dilakukannya untuk bangsa Indonesia.
Setelah belajar di Mekkah Saudi Arabia selama enam tahun (1930-1936), Hanafiah pulang ke Lampung mengabdikan ilmunya kepada masyarakat Lampung di Sukadana. Dua kitab karyanya, Sirr al-Dahr (1936) dan al-Hujjah (1937), serta ratusan kitab yang dibawa dari Mekkah digunakan untuk berdakwah di Lampung.
Tuntutan dan tantangan zaman membuat Hanafiah berbuat lebih dari sekadar berdakwah. Ia terlibat pada tiga organisasi pergerakan nasional Indonesia di Sukadana, yaitu Sarekat Islam, Nahdatul Ulama, dan Masyumi. Ia dipercayakan menjadi pimpinan laskar Hizbullah di Lampung Tengah, di samping sebagai ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Sukadana (1945-1946).
Pada awal tahun 1947, Hanafiah pindah ke Tanjung Karang. Ia menjadi Wakil Kepala Kantor dan sekaligus Kepala Bagian Islam di Jawatan Agama Lampung. Dengan posisi dan peran tersebut, waktunya semakin banyak untuk berjibaku dengan urusan kemasyarakatan dan pemerintahan, serta mudah mengetahui situasi politik di Tanah Air.
Setahun pasca proklamasi, pihak Indonesia dan Belanda mencapai suatu persetujuan di Linggajati, antara lain Belanda mengakui kedaulatan wilayah RI di Jawa, Madura, dan Sumatera. Tetapi itu hanya di atas kertas. Kurang dari setahun, Belanda kemudian menggunakan kekuatan militer menduduki wilayah RI di Sumatera terutama Palembang dan Sumatera Timur. Dua daerah itu memiliki potensi ekonomi berupa hasil industri dan perkebunan besar yang sangat dibutuhkan oleh Belanda untuk membayar hutangnya kepada Amerika Serikat pasca Perang Dunia II.
Belanda berupaya melindungi sumber-sumber minyak di daerah Palembang, khususnya Plaju, Sungai Gerong, Prabumulih, dan Mangunjaya. Untuk mencegah gerak pasukan bantuan Lampung tiba di Palembang, maka Belanda harus menguasai Baturaja. Begitu pula sebaliknya, untuk menghalau gerak pasukan Belanda menuju Lampung, maka Baturaja juga harus direbut oleh pasukan Lampung. Baturaja berfungsi sebagai jalan penghubung antara Lampung dan Palembang. Tak heran bila Indonesia dan Belanda berupaya memperebutkan Baturaja.
Pada situasi ini, Hanafiah memimpin sekitar 200-400 laskar Hizbullah dan Sabilillah dari Lampung untuk mempertahankan wilayah RI di Keresidenan Palembang yang telah diduduki Belanda sejak 21 Juli 1947 (3 Ramadhan 1336 H). Ketika Belanda menduduki Baturaja pada 24 Juli, Hanafiah dan pasukannya bertolak dari Stasiun Tanjung Karang menuju Baturaja. Esok harinya mereka tiba di Baturaja. Setelah gagal merebut Baturaja, karena pasukan Belanda jauh lebih kuat, mereka terpaksa kembali lagi ke Lampung untuk menyusun strategi berikutnya.
Sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri, tepatnya 16 Agustus 1947, pasukan Hanafiah kembali menggunakan Kereta Api dari Stasiun Tanjung Karang menuju Baturaja. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini mereka tidak sampai di Stasiun Baturaja. Mereka turun di Martapura lalu berjalan menuju Baturaja. Namun, setelah shalat Magrib dan beristirahat sejenak di Kemarung, mereka disergap oleh pasukan Belanda. Dalam keadaan panik dan gagap, mereka diberondong dengan tembakan sehingga mengakibatkan 46 orang tewas dan 112 orang ditawan Belanda, termasuk Hanafiah.
Dari berbagai keterangan sejarah diketahui bahwa Hanafiah dieksekusi secara rahasia oleh Belanda agar tidak menimbulkan reaksi dari para pengikutnya. Ia dimasukan ke dalam karung yang diberi pemberat lalu ditenggelamkan ke Sungai Ogan Baturaja. Jazadnya tidak ditemukan sehingga sampai sekarang tidak ada makamnya. Sementara pasukannya yang telah gugur dimakamkan secara massal di Kemarung (sekarang Taman Makam Pahlawan “Kemarung” Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu).
Titik Terang
Uraian di atas menunjukkan bahwa KH Ahmad Hanafiah telah berjuang keras mempertahankan kemerdekaan Indonesia tanpa menyerah sampai akhir hayatnya, Agustus 1947. Pada tahun 2022, ia telah diusulkan oleh Pemda Lampung Timur bekerjasama dengan UIN Raden Intan Lampung, lewat Dinas Sosial Provinsi Lampung, kepada Kementerian Sosial RI sebagai calon PN.
Hasil sidang Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) Kemensos menyatakan bahwa KH Ahmad Hanafiah memenuhi syarat sebagai calon Pahlawan Nasional. Karena itu dilakukan verifikasi lapangan oleh tim tersebut di Lampung pada 24-26 Agustus 2023. Hasilnya akan disampaikan pada sidang TP2GP berikutnya. Bila diterima, maka ia diajukan ke Dewan Gelar Nasional dan terakhir kepada Presiden RI. Semoga pada tahap akhir nanti dapat terwujud harapan masyarakat Lampung mempunyai PN baru yang kedua, setelah Raden Intan.
Artikel sudah dimuat di lampungpost, minggu I September 2023