Tanggal 12 Mei 1998 menjadi tanggal duka bagi perjalanan negeri ini. Berawal dari keinginan penguasa saat itu, dibawah pimpinan Presiden Suharto, yang ingin kembali menjabat menjadi presiden. Sementara negara mengalami berbagai krisis multidimensi. Mulai krisis moneter, pembungkaman dan penculikan aktivis, hingga demo-demo panjang dan marak di berbagai penjuru oleh mahasiswa, pekerja, buruh hingga petani.
Pada 12 Mei 1998, 4 mahasiswa Universitas Trisaksti meninggal dunia setelah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menuntut reformasi. Puluhan lainnya terluka terkena pukulan dan peluru.
Aksi mahasiswa Trisakti dan Gunadarma diikuti sekitar 10 ribu orang dan mulanya berlangsung damai. Sebagian mahasiswa membujuk aparat untuk mengizinkan pergi ke Gedung DPR namun ditolak.
Sejak kerusuhan meletus pada Rabu (13/5/1998), suasana Jakarta mencekam. Kawasan pertokoan tutup di mana-mana. Dalam kerusuhan tersebut, anak-anak, remaja, pelajar, orang dewasa, dan juga ibu rumah tangga menjarah barang di toko, supermarket, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Kerusuhan masih terjadi hingga keesokan hari, 15 Mei 1998. Setidaknya 273 orang tewas terpanggang api di dua pusat perbelanjaan yang dijarah dan dibakar massa, yakni Sentra Plaza Klender Jakarta Timur dan Ciledug Plaza Tangerang.
Selama tiga hari kerusuhan di Jakarta, korban tewas mencapai 499 orang. Polisi telah menangkap sekitar 1.000 perusuh. Sementara di daerah lain, situasinya masih memanas.
Kala itu, juru bicara dari pihak ABRI, Wahab Mokodongan, meminta maaf terkait semua situasi kacau yang telah terjadi.
Pada tanggal 18 Mei, para mahasiswa mulai menduduki gedung DPR/MPR. Komplek kantor wakil rakyat ini diwarnai sorak-sorai ribuan mahasiswa, puluhan cendekiawan, dan beberapa pensiunan jenderal.
Mereka semua menuntut reformasi dan mendesak presiden untuk menyampaikan pertanggungjawaban dan mengundurkan diri dari jabatannya.
Hari selanjutnya (19/05) ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi masih menduduki gedung DPR/MPR sampai malam hari. Mereka mengancam tidak akan pulang sebelum ada kepastian pelaksanaan Sidang Istimewa.
Selain menuntut presiden Suharto mundur, mereka juga meminta anggota dewan tidak meninggalkan gedung agar Sidang Istimewa bisa dilakukan secepatnya.
Untuk itu, mahasiswa melakuka diblokir jalan disekitar gedung DPR/MPR. Setiap pengendara yang lewat diminta menunjukkan kartu identitas. Saat itu, mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat memang sedang “menguasai” gedung wakil rakyat itu.
Soeharto Mundur pada 21 Mei 1998 Pada hari-hari jelang Soeharto mundur, belasan menterinya sudah terlebih dulu mengundurkan diri. Soeharto tampak merasa dirinya dipermalukan di hadapan seluruh bangsa Indonesia dan dunia internasional. Peristiwa bersejarah ini disiarkan berulang-ulang di televisi.
Selesai Soeharto menyatakan diri berhenti jadi Presiden RI, protokol istana menyerahkan map kepada Habibie dan diminta membacakan sumpah dan kewajibannya sebagai Presiden RI. [Bbs/Is/foto:istimewa]