Koleksi: Rendy Broto©2023 Merdeka.com

Kisah perjuangan heroik dari Pahlawan Harun Kabir menjadi catatan sejarah negeri yang tidak bisa dilupakan. Dalam buku “Siliwangi dari Masa ke Masa” terbitan Dinas Sejarah Kodam III, Divisi Siliwangi, Harun Kabir tercatat sebagai Kepala Staf Brigade II Surjakantjana yang membawahi Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Pria kelahiran 5 Desember 1910 itu merupakan asisten residen terakhir Bogor di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pasca proklamasi kemerdekaan, Kapten Harun Kabir mendirikan “Laskar Ciwaringin 33”.

Disebutkan dalam buku tersebut, penamaan Laskar Ciwaringin, tercetus dari sebuah nama jalan di Ciwaringin, Bogor. Namun, sekitar tahun 1946, Laskar Ciwaringin 33 kemudian dilebur menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

Selanjutnya, Harun Kabir kemudian ditunjuk sebagai opsir di lingkungan Brigade II Surjakantjana dengan pangkat mayor. Akan tetapi karena adanya kebijakan dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta yang menurunkan satu tingkat pangkat para tentara, maka pangkatnya kemudian diturunkan menjadi kapten.

Dalam perjuangannya, Seperti dikutip dari Album Sejarah Indonesia, Kapten Harun Kabir menjadi target incaran Militer Belanda. Karena itu, aksi perjuangan Kapten Harun Kabir dilakukan secara bergerilya. Ini juga yang menyebabkan Kapten Harun Kabir terpisah dari keluarganya.

Dalam perjuangannya, Harun Kabir beberapa kali memimpin pasukan untuk aksi pelucutan senjata Jepang, merebut sejumlah gedung dan fasilitas penting, hingga merebut stasiun Bogor.

Pada saat melakukan gerilya di daerah Cianjur Selatan. Istri Kapten Harun Kabir, Soekarti dan ketiga anaknya Tina (12), Hetty (11), Joyce (4) yang mulanya akan ke Banten untuk mengungsi, kemudian memutuskan untuk menyusul suaminya ke Cianjur.

Dalam suasana peperangan, pertemuan yang singkat itu dikisahkan sangat mengharukan. Peristiwa pertemuan tidak berlangsung lama, hingga kapten Harun Kabir meminta sang istri dan anaknya tinggal di sebuah gubuk di sekitar bukit daerah Cioray.

Selama persembunyian dari pencarian tentara Belanda, Kapten Harun Kabir pernah terserang sakit demam (beberapa sumber menyebut Kapten Harun Kabir terjangkit Malaria). Sang ajudannya yaitu Letnan Dua Arifin Tisnaatmidjaja dan Sersan Mayor Soekardi suatu malam pernah membopong Kapten Harun Kabir ke rumahnya untuk berkumpul dengan anak dan istrinya.

Tak disangka, pagi harinya sekitar pukul 04.00 WIB, gubuk mereka sudah terkepung oleh pasukan Belanda. Sadar dirinya telah dikepung, Kapten Harun segera memakai seragamnya dan menenangkan sang istri yang mulai khawatir akan nasib mereka.

Tak berselang lama, sebuah seruan keras menyuruh para penghuni gubuk untuk keluar. Dengan tenang, Kapten Harun membuka pintu gubuk dengan menggandeng Soekarti yang menggendong si kecil Joyce. Di belakang mereka, Tina dan Hetty masing-masing tangannya dipegang oleh dua pengawal Harun Kabir.

Di luar gubuk, seorang sersan Belanda berpakaian tempur lengkap mendekat sambil membawa senter dan pistol. Sersan itu lantas memerintahkan Harun dan dua pengawalnya untuk memisahkan diri.

Ketiganya dibariskan namun dalam posisi berhadapan dengan Soekarti, Tina, Hetty dan Joyce. Sambil memandang keempatnya, Harun masih sempat memainkan senyum dan membisikkan kata-kata.

“Kuatlah! Jangan takut! Ada Allah,” kata Harun.

Mereka bertiga (Harun Kabir dan kedua pengawal) dibariskan dan segera berjalan menuju truk militer Belanda. Dalam posisi dekat dengan kendaraan militer tersebut, tiba-tiba suara rentetan senjata berbunyi, memberondong ketiga pejuang itu. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, sejarah mencatat bahwa Harin Kabir masih sempat berteriak “Merdeka!”.

Sang kapten dibunuh di hadapan istri dan ketiga anaknya. Mereka terisak menyaksikan orang yang disayanginya sudah terbujur kaku, karena beberapa waktu lalu masih sempat memeluk dan mencium mereka.

Usai penembakan tersebut, suasana sekitar hening sejenak. Dengan langkah pelan dan santun, Sersan Belanda itu lantas menghampiri Soekarti.

“Nyonya, ini dalam situasi perang. Suami Nyonya membunuh tentara kami untuk bangsa dan negaranya, kami pun membunuhnya demi bangsa dan negara kami. Harap Nyonya mengerti,” tutur Sersan bule itu dalam bahasa Belanda. “Ya, saya mengerti,” jawab Soekrati dengan nada tenang.

Dalam catatannya, sejarawan Hendi Jo, menuliskan : “Saya hanya minta tolong kepada Sersan untuk mengangkat jenazah-jenazah itu ke dalam gubuk agar tidak didatangi binatang-binatang buas yang ada di sekitar tempat ini.” Permintaan itu diiyakan. Usai melaksanakan permintaan Soekrati, tentara-tentara itu pun pergi. Sepeninggal mereka, Soekrati seraya menggendong Joyce bergegas menuju kampung untuk meminta bantuan. Sementara Tina dan Hetty diminta ibunya untuk menunggu jenazah-jenazah itu.

“Kamu bisa bayangkan, bagaimana perasaan saya dan Tina harus menunggui tubuh kaku ayah saya yang beberapa jam sebelumnya baru saja memeluk dan mencium kami?” kata Hetty kepada saya sembilan tahun yang lalu.

Ketiga jasad pejuang itu dimakamkan di Cioray. Belasan tahun kemudian makam Kapten Harun Kabir dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan.

Tak lama setelah itu, makam Harun Kabir dipindahkan lagi ke Sukabumi daerah Ciandam sesuai dengan amanah beliau semasa hidup. Dia dimakamkan di samping ayahnya Raden Abung Kabir Natakusumah, keturunan langsung dari Bupati Bandung ke-5 Raden Wiranatakusumah I (1769-1794). [berbagai sumber/IS]

Sumber :
* Arsip Indonesia dan buku “Siliwangi dari Masa ke Masa” karya Dinas Sejarah Kodam III, Divisi Siliwangi.
* Album Sejarah Indonesia

Foto : Koleksi Rendy Broto/merdeka.com

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *