Kuatnya rezim Orde Baru melahirkan kebijakan pelarangan bagi semua hal yang mengganggu stabilitas keamanan. Tidak heran, mereka tidak segan-segan membungkam para pengkritiknya, termasuk media massa. Hari ini, 20 Januari, 45 tahun silam, Presiden Soeharto lewat Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) membreidel tujuh media massa yang dianggap melakukan kesalahan pemberitaan. Ketujuh surat kabar tersebut adalah Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi.

Penyebab larangan terbit tersebut hanya karena pemberitaan mereka dianggap “menghasut” rakyat oleh rezim Orba. Menurut Kopkamtib, pemberitaan dalam ketujuh harian itu dianggap telah menjurus kepada penghasutan, yang langsung maupun tidak langsung, sudah merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban.

Seperti dilansir majalah TEMPO edisi 28 Januari 1978, Kepala Kopkamtib kala itu, Sudomo menyatakan, pelarangan tersebut demi menjaga masyarakat dari kabar menyesatkan. “Tindakan itu dilakukan untuk memelihara ketenteraman umum dan menghindarkan tersebarnya berita-berita yang menyesatkan masyarakat,” ujarnya

Menurut Sudomo, pemberedelan tersebut bukan untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara saja.

Namun sembari menunggu perkembangan, Kopkamtib tetap mempertimbangkan untuk melakukan pencabutan ijin terbit majalah dan koran-koran tersebut. “Itu memang berlaku untuk sementara, sambil menunggu proses lebih lanjut perlu tidaknya dilakukan pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT),” katanya

Menteri Penerangan kala itu, Sudharmono menyatakan, bahwa larangan terbit itu sebagai peringatan awal atau “kartu kuning” agar tak terjadi pencabutan SIT. Sudharmono mengklaim, pihaknya sebelumnya sudah berbicara dengan para pemimpin redaksi suratkabar.

“Untuk untuk meminta pengertian mereka agar menghindari pemberitaan yang dianggapnya bisa mengganggu stabilitas nasional,” katanya.

Terkait nasib ribuan karyawan yang bergantung pada keberlanjutan surat kabar tersebut, pemerintah menyatakan demi keamanan nasional, pelarangan itu yang terbaik.

“”Mana yang lebih penting: rakyat 120 juta atau 1.000 orang. Tentu yang 120 juta, dong.” Sampai kapan? Inilah pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang,” kata Kepala Puspen Hankam, Brigjen Daryono dalam Majalan Tempo di edisi yang sama.

Meski sempat ada ancaman pencabutan izin terbit, akhirnya pelarangan itu hanya berlangsung dua pekan. Melunaknya sikap pemerintah terjadi setelah para pemimpin redaksi membuat kesepakatan untuk mau memelihara stabilitas nasional.

Meski demikian, rezim Presiden Soeharto masih menganggap pers yang kritis ini sebagai hambatan serius dan sangat mengganggu. Tahun-tahun setelahnya, Orba masih terus mencoba memadamkan kritik dengan cara pemberedelan.


KISAH BUNGKAM MEDIA

Sebetulnya, pembreidelan surat kabar tersebut sudah disiapkan rezim jauh-jauh hari. Rangkaian peristiwa yang “konon” mengganggu stabilitas kerapkali terjadi.

Dalam catatan sejarah, Antara tahun 1965 hingga 1972, presiden Soeharto memang sudah mengeluarkan beberapa izin penerbitan (SIT) yang jumlahnya mencapai 1.559 buah. Pencitraan rezim melalui media yang bisa dikontrol menang sangat diperlukan, Soeharto sekaligus ingin menunjukkan sebagai pemerintah yang membawa paradigma baru bagi arus kebebasan berpendapat, salah satunya melalui media.

Dijaman itu, meskipun iklim keterbukaan pers sudah dibuka, pada kenyataannya masih terjadi pengekangan terhadap pers yang berlatar belakang politik. Misalnya, pada 1969, harian Warta Berita dilarang terbit karena berani memuat pidato Kim Il Sung, pemimpin komunis Korea Utara.

Di awal 1970-an wilayah kebebasan pers akhirnya mengalami tekanan serius terutama dari pihak militer yang menginginkan pers tidak mempublikasikan tentang masalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat itu. Mirip dengan zaman rezim Demokrasi Terpimpin, hanya berbeda kemasan rezim Orde baru melihat pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang harus di atur dan di kontrol seperti halnya dengan organisasi massa dan partai politik.

Unit komunikasi harus mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa, sehingga pemerintah ini dapat mencapai tujuannya. Di bawah kebijakannya Orde Baru secara aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi dengan menggunakan media massa sebagai alat kontrol sosial untuk mengatur hubungan antar individu serta masyarakat. Karena keadaan belum sepenuhnya kondusif bagi pemerintah untuk menerima kritik, umumnya para wartawan melakukan strategi yang lihai dalam metode penulisan yang dibuat, hal tersebut dilakukan agar tulisan yang siap cetak ini tidak menjadi bumerang bagi mereka di kemudian hari.

Apa yang terjadi selanjutnya membuktikan lemahnya kapasitas rezim Orde Baru dalam mewujudkan iklim demokrasi di dunia pers nasional. Tahun 1971, Harian Kami dan Duta Masyarakat dilarang terbit untuk sementara waktu akibat liputan mereka mengenai Pemilu 1971. Sebelumnya harian Sinar Harapan juga mengalami hal serupa ketika menerbitkan berita tentang korupsi di pemerintahan.

Pada 1973, pihak militer semakin mengintervensi dunia pers nasional ketika mereka berusaha mengontrol PWI dengan menempatkan Harmoko sebagai calon ketua. Harmoko dianggap pemerintah lebih dapat dikontrol dibanding wartawan-wartawan senior saat itu. Memang terbukti, kongres PWI ke-15 yang diadakan di Tretes, akhirnya dimenangkan Harmoko.

Sikap keras pemerintah terhadap pers nasional akhirnya meledak pada peristiwa Malari 1974. Situasi sosial dan politik dalam negeri saat itu cukup hangat. Sikap pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah dalam hal penanaman modal asing sedang ramai dibicarakan saat itu.

Banyak kalangan yang menganggap kerja sama ekonomi yang dilakukan Soeharto dengan pihak asing hanya membawa dampak negatif bagi negara. Kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dijadikan momen tepat bagi masyarakat dan mahasiswa untuk melampiaskan kekecewaan mereka. Mahasiswa berdemo di seantero kota untuk mendeklarasikan ketidakpuasannya atas modal asing yang terutama berasal dari Jepang.

15 Januari 1974, keadaan makin tak terkendali ketika aksi mahasiswa berbuah anarki dan melahirkan perisiwa yang oleh media disebut MALARI atau Malapetaka Januari. Selain pada saat itu muncul aksi-aksi, juga dibarengi dengan aksi penjarahan dan pembakaran yang disertai penyerangan pada setiap sarana publik oleh perusuh yang tak jelas asalnya. Untuk itu, Kopkamtib, menyerukan kepada aparat lapangan untuk melakukan tindakan tembak ditempat bagi para penjarah. akibatnya, 11 orang terbunuh dan ratusan lainnya mengalami luka parah.

Media massa saaitu memberitakan kerusuhan itu dengan antusias sekali, dan membuat “telinga” pemerintah menjadi panas. Mereka pun terkena vonis, ada yang dicabut SIT (Surat Izin Terbit) dan ada pula yang dicabut SIC (Surat Izin Cetak). Korban-korbannya antara lain, harian Nusantara lewat SK Menpen No: 015/DR/ Ditjen PPG/1974, tertanggal 16 Januari 1974. Lalu Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung, berdasarkan SK Laksus Pangkopkamtipda Jawa Barat, tertanggal 18 Januari 1974.

Menurut catatan lain, selain terbitan-terbitan yang disebutkan diatas, ada dua media lain yang menjadi korban Malari, yaitu Suluh Berita dan Indonesia Pos. Dasar pertimbangan pembreidelan terhadap terbitan-terbitan tersebut adalah karena dinilai melanggar semangat dan jiwa TAP MPR No. IV/MPR/1973 dan UU No: 11/1966 yang berujung pada rusaknya kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan nasional.

Tanggal 19 Januari 1974, Jenderal Soemitro, Wakil Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib, memanggil para pemimpin redaksi harian di Jakarta. Meski pertemuan itu terkesan akrab, namun jenderal itu mengingatkan kepada setiap pimpinan redaksi agar dapat “menjaga lidah”, agar tercapainya stabilitas Pembangunan Nasional.

Malari akhirnya menjadi ending bagi kebebasan pers di tanah air. Walaupun sebelumnya Orde Baru mulai menampakkan sikap kerasnya terhadap dunia pers, namun pasca kejadian berdarah itu, rezim tersebut mulai menjadikan pers sebagai alat pengontrol bagi stabilitas kekuasaan mereka. Mulai saat itu pers Indonesia mengalami masa suram yang akan terus terjadi hingga dasawarsa ke depan.

Pada tanggal 20 Januari 1978, Kopkamtib melarang terbit tujuh surat kabar harian Jakarta, yaitu Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, Pos Sore, Indonesia Times, dan Sinar Pagi. Pihak keamanan mengambil tindakan pembreidelan tersebut karena diduga isi pemberitaan mereka mengandung unsur hasutan yang dapat mengganggu stabilitas nasional.

Akhirnya, bagi Soeharto, jiwa pers yang kritis merupakan sebuah hambatan serius yang perlu ia padamkan demi memperoleh kekuasaan yang terbebas dari kontrol independen.

[berbagai sumber/foto:ilustrasi]

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *